1. MAKNA KIAS DAN MAKNA LUGAS
Makna
kiasan adalah pemakaian leksem dengan makna yang tidak sebenarnya
(Kridalaksana; 1982: 103): Misalnya kalau ada orang Gorontalo yang hendak
meminang seseorang gadis, digunakan leksem-leksem seperti, burung, emas, bunga,
intan, perak, untuk mengganti leksem /gadis/. Dalam hubungan ini leksem-leksem
/ bunga, burung, emas, intan, perak/ tidak digunakan dalam arti sebenarnya
tetapi dalam makna kiasan. Leksem /emas, intan/ dihubungkan dengan makna gadis
turunan bangsawan atau pejabat, sedangkan leksem /bunga, burung/ dihubungkan
dengan makna gadis dari anak rakyat biasa. Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan sebagai
oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata,
frase, atau kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal,
arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi,
bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti ’bulan’, raja siang
dalam arti ’matahari’.(Abdul chaer,2009:77). Secara tradisional, misalnya dalam wawasan
Aristoteles, bahasa kias diartikan sebagai penggantian kata yang satu dengan
kata yang lain berdasarkan perban-dingan ataupun analogi semantis yang umum
dengan yang khusus ataupun yang khusus dengan yang khusus. Perbandingan atau
analogi tersebut berlaku secara proporsional, dalam arti perbandingan itu
memperhatikan potensialitas kata-kata yang dipindahkan dalam meng-gambarkan
citraan maupun gagasan baru. Pada bentuk bahasa kias Aku ini binatang
jalang, misalnya, terdapat dua hal yang diperbandingkan, yakni “aku” dan
“binatang jalang”. Pada perbandingan tersebut dapat ditemukan persamaan ciri
semantis antara “aku” dan “binatang jalang”. Pada perbandingan ciri semantis
yang umum, “aku” memiliki ciri semantis sebagai ‘makhluk’, demikian juga
“binatang”. “Aku” mempunyai ciri semantis bernyawa, begitu juga “binatang”.
Pada sisi lain, perbandingan itu juga merujuk pada ciri semantis yang khusus
dengan yang khusus. “Aku” sebagai makhluk ‘berkesadaran’ sebagai ciri khusus
manusia diperbandingkan dengan “binatang” yang secara khusus diberi ciri
‘jalang’. Perbandingan sebagai salah satu ciri umum dari bahasa kias antara
lain dapat berbentuk metonimi, sinekdok, simile, ironis, dan metafora. Bahasa
kias, menurut Aminuddin (1995:234), umumnya terkait dengan (1) perbandingan
atau penghu-bungan ciri dunia acuan berdasarkan tanggapan terhadap pengamatan
realitas secara natural; (2) kesejajaran, hubungan secara tetap, maupun
percampuran ciri dunia acuan secara tetap; (3) penggarapan medan ciri semantis
kata-kata yang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari persepsi terhadap
objek yang diacu kata-kata tersebut; dan (4) dunia pengalaman maupun konteks
sosial budaya pembentuknya. Sebagai fakta penggunaan bahasa, bahasa kias tidak
terwujud dalam bentuk siap pakai melainkan terbentuk melalui proses kreatif
pemakainya. Proses kreatif tersebut secara esensial terkait dengan kreasi dalam
membentuk gagasan, menghubungkan gagasan dengan kata-kata dan kongkretum yang
dicitrakannya maupun potensi citraan itu dalam menuansakan
pengertian-pengertian tertentu. Berbeda dengan penggunaan bahasa kias dalam
komunikasi sehari-hari yang sudah menjadi milik umum, bahasa kias dalam wacana
puisi merupakan bahasa kias yang bersifat personal. Meskipun bersifat personal,
penelusuran pemahaman bahasa kias dalam wacana puisi pada dasarnya tidak
berbeda jauh dengan penelusuran pema-haman bahasa kias yang umum. Hal itu
disebabkan oleh karena bahasa kias dalam wacana puisi tentu merupakan kreasi
batiniah penyair yang berhubungan dengan penuansaan gagasan, pencitraan,
pengalaman kultural, dan konteks kewacanaannya.
Lugas berarti bahasa yang
digunakan tidak menimbulkan tafsir ganda. Bentuk dan pilihan kata serta susunan
kalimatnya hanya memungkinkan satu pilihan tafsiran, yaitu tafsiran yang sesuai
dengan maksud penulis. Setiap pilihan kata diberi bobot makna yang sewajarnya
sehingga tidak perlu diulang dengan berbagai sinonim (padanan) atau paralelisme
(kesejajaran). Makna lugas adalah makna yang sesungguhnya dan mirip dengan
makna denotatif. makna ini makna yang acuannya sesuai dengan makna kata
yang bersangkutan (makna sebenarnya)
Contoh :
- Olahragawan itu senang memelihara codot hitam
- Pak Kimung minum teh sisri di pematang sawah
- Olahragawan itu senang memelihara codot hitam
- Pak Kimung minum teh sisri di pematang sawah
Jadi, makna kata atau kelompok kata yang menyatakan
makna yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar